Monday, April 13, 2015

STREET TRASH (1987)


STREET TRASH (1987)
Sutradara: Jim Muro
U.S.A.


Saya yakin banyak orang tidak menikmati Street Trash karena jelas film ini bukan untuk semua orang. Street Trash adalah film independen bergenre komedi/horor/gore yang sangat berantakan, dari mulai plot film, hingga spesial effect-nya, semua berantakan. Tapi tolong bedakan konteks “berantakan” untuk dua hal tersebut. Untuk masalah plot, ya memang agak berantakan dan kacau dalam artian tidak tertata rapih. Tapi untuk special effect-nya, berantakan dalam arti sebenarnya, karena kamu akan banyak melihat manusia yang melepuh, meleleh, berantakan dan mengeluarkan cairan kental berwarna-warni dalam film ini.  



SINOPSIS SINGKAT (SPOILER!)
Semua kekacauan dalam Street Trash berawal dari sebuah toko minuman keras yang berada di daerah yang dipenuhi gelandangan di pinggiran kota Manhattan. Toko ini sering didatangi para gelandangan yang ingin mabuk tapi tak memiliki cukup uang untuk membeli minuman, dan sang pemilikpun sudah muak dengan para gelandangan yang nyaris membuatnya bangkrut. Suatu hari saat sedang membersihkan gudang bawah tanahnya, sang pemilik toko tanpa sengaja menemukan satu box penuh minuman keras misterius bermerk “Viper” yang sebenarnya sudah kadaluarsa. Ia pun memutuskan untuk menjualnya dengan harga yang sangat murah, untuk para gelandangan sekitar. 

Tokoh utama dari film ini adalah seorang gelandangan bernama Fred, yang hidup di daerah kumuh dimana gelandangan ada di setiap sudut, meresahkan pengguna jalan yang lewat, saling berkelahi memperebutkan uang tiga dollar, saling mencuri minuman keras dari gelandangan lainnya, dan menghabiskan hari-hari mereka dengan mabuk. Jalanan dikuasai oleh geng gelandangan yang dipimpin oleh seorang veteran perang vietnam psikopatik sadis yang bernama Bronson. Pemukiman tempat Fred tinggal adalah sebuah tempat pembuangan dimana limbah dan mobil-mobil rusak dibuang begitu saja, dan kawasan ini juga adalah pusat kerajaan Bronson.

Singgasana Bronson

Bronson yang kejam dan otoriter bermulut busuk

Gerombolan Bronson sedang berusaha "membersihkan" kaca mobil yang sedang lewat. 

Kehidupan Fred sebagai gelandangan bisa dibilang cukup menyenangkan. Ia adalah seorang gelandangan yang bebas dan bukan anak buah Bronson, jadi bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun untuk ia patuhi. Fred hidup berdua dengan adiknya di dalam sebuah gubug yang disulap dari sampah mobil dan ban, dan memiliki seorang sahabat bernama Burt yang sangat baik dan selalu membela Fred saat ia dihadang oleh gerombolan Bronson. Salah satu momen menyenangkan dalam persahabatan Fred dan Burt adalah saat ia menjamu Fred dan adiknya dengan makan malam yang cukup mewah setelah sebelumnya ia meminta uang dari adik Fred, dan kemudian “berbelanja” di supermarket terdekat.

Dinner served!

Kembali ke cerita utama Street Trash, suatu hari, seperti biasanya Fred mendatangi toko minuman keras, dan sangat senang saat mengetahui bahwa ia akhirnya sanggup membeli sebotol minuman keras dengan uang yang seharusnya ia setorkan pada anak buah Bronson. Setelah membeli sebotol “Viper”, ia bertemu salah satu kawannya yang diam-diam mencuri minuman Fred dan meminumnya di sebuah WC dalam reruntuhan rumah. Apa yang terjadi sesaat setelah meminum “Viper”, sangatlah menakjubkan: setelah merasa kesakitan, tubuhnya mulai berasap dan mengucurkan cairan kental berwarna-warni, dan kemudian perlahan meleleh menjadi seonggok cairan kental penuh warna.

Meleleh!

Namun, belum banyak yang mengetahui kejadian tersebut selain polisi, yang kemudian memutuskan untuk melakukan investigasi, terutama pada gerombolan Bronson yang terkenal. Suatu hari, ditemukan sesosok mayat perempuan yang mati setelah diperkosa beramai-ramai oleh kelompok Bronson, di dekat pemukiman para gelandangan. Sang polisi kekar yang bertugas untuk mencari keberadaan Bronson pun semakin dibuat pusing saat mengetahui bahwa mayat itu adalah mayat dari kekasih salah satu mafia lokal. Singkat cerita, polisi akhirnya berhasil melacak keberadaan Bronson, hingga berkonfrontasi langsung dengan Bronson. Namun, cerita tentang tirani Bronson atas dunia gelandangan ini jujur saja bukan hal yang menarik untuk disimak dari Street Trash. Setidaknya, bukan itu yang saya cari dari film ini.


Street Trash seakan menceritakan dua cerita yang berbeda menjadi satu: lika-liku kehidupan pelik para gelandangan di bawah tirani Bronson; dan juga dampak dari minuman misterius “Viper” pada mereka yang meminumnya, dan saya meneruskan film ini untuk menyaksikan lebih banyak lagi tubuh-tubuh berantakan dan berceceran akibat minuman “viper”. Dan benar saja, satu persatu gelandangan korban minuman “viper” pun berjatuhan, dengan cara meleleh yang cukup bervariasi.  


Saya sangat menikmati film ini. Ringan, lucu, sangat menghibur, berantakan, dan menjijikan. Film ini memang film independen dengan bajet yang sudah pasti sangat rendah. Mungkin bajet untuk semua special effect dalam film ini masih jauh lebih besar dibandingkan honor yang diberikan kepada semua aktor amatir yang ikut berperan dalam Street Trash. Dan jujur saja, sayapun agak ragu kalau mereka yang berperan dalam film ini adalah aktor sungguhan. Bisa jadi para aktor di film ini adalah kawan-kawan dari sang sutradara sendiri, yang bermain untuk alasan kesenangan belaka, karena jelas film ini adalah sebuah proyek senang-senang. Tapi tak percuma, karena hasilnya, film ini memang sangat menyenangkan untuk ditonton bahkan untuk jaman sekarang. Hal lain yang sangat saya kagumi dari film ini adalah grafisnya! Dari mulai poster, hingga adegan-adegan melelehnya, sangat memanjakan mata.  Seperti melihat sebuah grafis di skateboard Santa Cruz era 80-an. Mata meleleh, warna-warni, tubuh berantakan. 


Kalau kamu baca kelebihan yang baru saya urai di atas, tentu kamu sadar kalau tidak begitu banyak yang bisa dikeluhkan dari film semacam Street Trash. Ah, sebenarnya film ini memang bukan untuk dikeluhkan! Bukan berarti film ini sempurna, tapi karena bukan itu intinya. Semua kekurangan dalam film ini sangat wajar dan terbayar dengan sensasi yang menyenangkan, selama kamu tidak berharap film ini akan sebagus film "The Thing", tentunya. Ohya, Street Trash adalah film pertama dan terakhir yang dibuat oleh sang sutradara Jim Muro, menjadikannya sebagai satu-satunya masterpiece dari Muro sendiri. 

PERINGATAN (untuk mereka yang peduli)
Film ini mengandung adegan kekerasan, seksualitas, sadisme, darah, isi perut, kepala putus, serta cacian kasar.


FUN FACT
Sebuah record label independen bernama Lunaris Records baru-baru ini merilis ulang soundtrack dari Street Trash dalam bentuk kaset. Coba lihat betapa kerennya kaset ini! 



PELAJARAN
Lain kali, perhatikan tanggal kadaluarsanya, nak!


SCORE!
3 dari 5!

TRAILER


.

Sunday, April 12, 2015

SPOORLOOS A.K.A. THE VANISHING (1988)



 

SPOORLOOS A.K.A. THE VANISHING (1988)
Sutradara: George Sluizer
Belanda

Diadaptasi dari sebuah novel berjudul “The Golden Egg”, film psychological drama ini mengangkat salah satu elemen ketakutan psikologis paling mendasar dari manusia: ketidakpastian dan ketidaktahuan.


Bercerita tentang sepasang suami istri muda asal Belanda yang sedang dimabuk cinta, Rex and Saskia, yang melakukan perjalanan liburan ke Perancis mengendarai sebuah mobil. Membawa sepasang sepeda di atas mobilnya, tujuan mereka adalah sebuah rumah mungil milik keluarga Saskia di sebuah daerah perbukitan di Perancis. 

ya, Saskia.. tentu saja..


Di tengah perjalanan saat telah memasuki Perancis, mobil mereka mulai kehabisan bensin. Akhirnya mereka berhenti untuk mengisi bensin di sebuah pom bensin yang cukup ramai. Mungkin kalau di Indonesia, tempat ini semacam rest area di jalan tol, dimana di sana ramai orang dan terdapat sebuah minimarket yang menjual berbagai kebutuhan. Setelah bensin terisi, mereka memarkirkan kendaraannya di halaman pom bensin tersebut untuk sekedar beristirahat sejenak dari perjalanan yang melelahkan. Hari masih siang, dan tempat tersebut cukup ramai dipenuhi para turis yang melakukan perjalanan serupa dengan mereka. Sebagian memenuhi minimarket yang ada di area pom bensin tersebut, sementara yang lainnya beristirahat di halaman yang memang cukup luas. Beberapa anak kecil tampak bermain bola. Rex memilih untuk bersantai di atas rumput, di bawah rimbunnya pohon dekat tempat mobil mereka diparkirkan, sementara kekasihnya Saskia yang mengantongi kunci mobil, masuk ke dalam minimarket untuk membeli bir dingin.

Setelah beberapa lama, Rex mulai khawatir karena Saskia tak kunjung kembali. Padahal ia hanya pergi untuk membeli bir kaleng untuk mereka nikmati berdua pada siang hari yang terik tersebut. Akhirnya Rex menyusul Saskia ke dalam mini market yang dipenuhi para turis yang sedang berbelanja. Setelah mencari ke setiap pojok ruangan dan kamar mandi, Rex tak juga menemukan Saskia. Tentu saja pada jamannya, tak ada handphone yang bisa Rex telpon atau sms untuk bertanya dimana Saskia berada. Kalaupun ada, mungkin sudah tidak bisa dihubungi.

Inilah kali terakhir Rex melihat Saskia

Rex mulai bertanya-tanya kapan bir dinginnya akan datang.


Rex yang tidak terlalu fasih berbahasa Perancis, akhirnya berusaha bertanya pada setiap pengunjung dan petugas kasir sambil memperlihatkan foto Saskia. Beberapa dari mereka sempat melihat Saskia, tapi tak ada yang memberi keterangan yang cukup jelas. Terutama karena masalah perbedaan bahasa. Rex terus mencari dan menunggu, hingga malam tiba dan area pom bensin pun mulai sepi, tak ada juga tanda-tanda keberadaan Saskia.  



Fokus lain dalam film ini adalah, Raymond Lemorne, seorang pria Perancis yang berpendidikan dan berpenampilan rapih. Secara pararel, diceritakan bahwa kehidupan berkeluargan Raymond pun sangat harmonis. Istri dan kedua anak perempuannya sangat mencintai dan bangga memiliki kepala keluarga seperti Raymond. Sehari-harinya ia bekerja sebagai seorang guru, dan orang-orang di lingkungannya pun sangat menghormatinya. Diperlihatkan bahwa Raymond adalah orang baik-baik, sederhana dan tampak lurus-lurus saja. Orang-orang di sekelilingnya tak akan percaya bahwa orang seperti Raymond akan sanggup berbuat jahat. Namun, setiap orang memiliki sisi gelapnya. Dalam beberapa kesempatan, penonton diperlihatkan bagaimana Raymond berusaha melatih dirinya sendiri untuk menculik orang. Ia melatih diri dengan berbagai cara untuk menggiring korbannya masuk ke dalam mobil dan membiusnya dengan perhitungan waktu yang ia rasa paling cepat dan efisien bisa dilakukan. Beberapa kali juga penonton diperlihatkan bagaimana usaha Raymond untuk benar-benar menculik orang di jalanan, namun selalu gagal karena sulitnya menggiring perempuan asing untuk duduk di dalam mobilnya untuk kemudian dibius, terutama di siang bolong dan di tempat-tempat ramai. Secara jelas kita diperlihatkan bahwa Raymond bukanlah seorang psikopat yang berpengalaman. Ia jelas adalah pria baik-baik yang tak memiliki kemampuan berbuat jahat. Dalam setiap usahanya untuk menculik, ia tampak seperti seorang anak sekolah baik-baik yang dengan gugup ingin belajar nakal, dan selalu gagal karena tak ada yang mengajarinya. Walaupun begitu, penonton seakan diberi arahan bahwa Raymond adalah penculik Saskia. Dengan semua kegugupannya, lalu bagaimana cara ia menculik Saskia? Walaupun menjelang akhir film ini, kita diberi penjelasan, tapi “bagaimana” bukanlah fokus pertanyaan dalam film ini. Ada satu pertanyaan lain yang lebih penting untuk dipertanyakan, yaitu “mengapa”. 

Memang, sebenarnya sosok sang penculik bukanlah karakter yang disembunyikan dari pengetahuan penonton. Film ini bukanlah jenis film yang memberi teka-teki pada penonton mengenai siapa penculik Saskia. Walaupun Rex sama sekali tak mengetahui siapa penculik Saskia, tapi secara berkala, sejak awal penonton sudah diperlihatkan kehidupan Raymond Lemorne. Malahan, mungkin lebih dari 50% film ini lebih banyak memperkenalkan karakter Raymond secara lebih mendalam, beserta usahanya untuk menculik orang.

Setelah polisi tak juga menemukan titik terang sama sekali mengenai keberadaan Saskia, Rex pun akhirnya melakukan kampanye besar-besaran sendiri dalam rangka mencari Saskia. Tiga tahun berlalu, Rex masih terus menempelkan poster-poster pencarian Saskia di beberapa daerah di Perancis, dari mulai daerah perbatasan hingga ke daerah-daerah yang tak jauh dari pom bensin tempat pertama kali Saskia hilang begitu saja. 


Rex sudah memiliki kekasih baru saat itu, tapi pikirannya tak bisa lepas begitu saja dari Saskia yang menghilang tanpa penjelasan apapun. Hal yang paling mengganggunya adalah, ketidaktahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rex sudah tidak peduli apakah Saskia masih hidup atau tidak, karena yang mengganggunya selama ini adalah, ketidaktahuannya atas apa yang terjadi pada Saskia. Dan hal ini kemudian menjadi obsesinya. Ia hanya ingin mendapat penjelasan supaya dirinya bisa melanjutkan hidup. Inilah yang saya rasa merupakan salah satu siksaan psikologis manusia pada umumnya, ketidaktahuan. Kita bisa berpura-pura melupakan atau tak peduli, tapi dalam situasi yang Rex hadapi, tentu saja ia tak bisa meneruskan hidupnya begitu saja.

Pilihan bagi Rex ada dua: berasumsi bahwa sebenarnya Saskia masih hidup dan baik-baik saja di suatu tempat, atau berasumsi bahwa Saskia sudah meninggal di tangan penculik. Kalaupun Saskia tidak diculik, mengapa Saskia pergi begitu saja adalah pertanyaan besar yang tak masuk di akal dan tetap membutuhkan penjelasan. Tapi ia tak bisa meneruskan hidup dengan hanya bermodal pada ketidakpastian dan asumsi. Ia perlu mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi pada Saskia sejak pertama kali menghilang. Bahkan penonton pun dibuat tak mendapatkan satu petunjukpun tentang apa yang terjadi dengan Saskia. Pengetahuan kita setara dengan pengetahuan Rex, bahwa Saskia diculik. Itu saja. Hilang begitu saja di tengah keramaian, tanpa kabar, tanpa petunjuk, tanpa jejak, tanpa permintaan tebusan, tanpa kepastian apapun.

Kembali pada karakter Raymond, beberapa kali ia melihat poster-poster orang hilang dengan wajah Saskia di dalamnya. Menyadari sudah tiga tahun berlalu dan suami Saskia masih terus menempelkan poster-poster tersebut, Raymond pun mulai mengagumi kegigihan Rex. 

Kini Rex sudah sangat yakin bahwa Saskia diculik. Lewat surat-surat tak bernama, sudah lima kali sang penculik mengajaknya untuk bertemu di beberapa tempat yang berbeda-beda di kota Nimes, Perancis, tak jauh dari pom bensin tempat Saskia menghilang. Rex selalu datang ke tempat yang telah ditentukan di Perancis setiap kali ia mendapatkan surat undangannya, namun sang penculik tak pernah benar-benar menemuinya. Rex yakin sang penculik selalu hadir disana hanya untuk mengawasi dirinya duduk berjam-jam dalam penantian. Polisi sendiri tak banyak membantu. Setelah mengawasi dua undangan pertemuan pertama, polisi menganggap undangan-undangan berikutnya dari sang penculik hanyalah guyonan orang iseng belaka. 

 Tentu saja, Raymond memperhatikan Rex sebegitu dekat. Sementara kekasih baru Rex masih terus berusaha mempengaruhi Rex untuk melupakan Saskia.

Kekasih baru Rex yang merasa tak tahan lagi menghadapi Rex yang terobsesi dengan kepastian nasib Saskia, akhirnya meninggalkan Rex. Namun hal itu tidak membuat Rex terpukul, malah sebaliknya, membuat Rex menjadi lebih fokus mencari Saskia. Pada satu kesempatan, akhirnya Rex diwawancarai di sebuah tv lokal perancis, dimana ia menuturkan pencariannya atas kepastian dan meninggalkan pesan pada sang penculik untuk menghubunginya. Ia meyakinkan bahwa ia hanya ingin mengetahui apa yang terjadi pada Saskia, dan rela melakukan apapun untuk mendapatkan jawaban. 

Raymond dan keluarganya sedang menonton siaran TV dimana Rex menyampaikan pesannya secara langsung pada sang penculik.

Raymond yang kebetulan menyaksikan siaran khusus tersebut bersama keluarganya yang harmonis, kemudian memberanikan diri untuk mendatangi Rex di Belanda. Setelah Raymond memperlihatkan sebuah kunci mobil Rex yang dulu dikantongi oleh Saskia, Rex berusaha memukuli Raymond. Namun hal tersebut bukanlah hal yang Rex tunggu-tunggu. Mengetahui dengan jelas apa yang Rex butuhkan, Raymond pun menjanjikan semua penjelasan tentang keberadaan dan nasib Saskia, dengan syarat Rex harus ikut dengannya pergi ke Perancis saat itu juga. Kalau Rex memutuskan untuk tidak ikut, maka Raymond akan pergi dan menghilang dari kehidupan Rex untuk selamanya, bersama semua rahasia mengenai Saskia. Kalaupun Rex melapor pada polisi, atau bahkan membunuh Raymond, maka semua rahasia mengenai Saskia juga akan hilang. Apalagi Rex tak memiliki bukti apapun untuk memenjarakan Raymond. Inilah satu-satunya kesempatan Rex untuk mendapat semua penjelasan. Sebuah momen yang telah lama ia tunggu dengan sabar. Rex yang lebih ingin mendengar kepastian mengenai Saskia, ketimbang mempenjarakan penculiknya, akhirnya memutuskan untuk ikut dengan Raymond. Lagipula memang suasana itulah yang dibangun sejak awal film ini, Rex bukan ingin membalas dendam atau memenjarakan. Amarahnya sedikit padam karena rasa penasaran lebih banyak menguasai dirinya selama tiga tahun terakhir. Ia hanya ingin membunuh ketidaktahuannya, ketidakpastiannya, supaya ia bisa meneruskan hidup dengan tenang. 


Dalam perjalanan menuju Perancis, kita diperlihatkan bagaimana kedua karakter yang selama ini dikembangkan dalam film ini, kemudian duduk dalam satu mobil dan mulai berkomunikasi. Raymond lebih banyak bercerita mengenai hidup pribadinya, keluarganya, hingga sisi gelap psikologisnya pada Rex, sementara Rex dipaksa untuk menunggu penjelasan mengenai Saskia. Tentu saja tak ada alasan untuk terburu-buru bagi Raymond untuk membuka rahasia mengenai Saskia.

Film ini diakhiri dengan sebuah dilema besar bagi saya sendiri, mengenai apakah keputusan Rex untuk ikut dengan sang penculik ke Perancis itu sebenarnya tepat atau tidak. Di satu sisi, akhirnya kita semua (termasuk Rex) memang mendapat penjelasan yang membayar semua penantian kita. Tapi di sisi lain, ending film ini sebenarnya cukup mengenaskan, apalagi kalau kita memposisikan diri kita pada posisi Rex. Harga yang cukup mahal harus dibayar oleh Rex demi sebuah kepastian, tapi setidaknya tak ada lagi rasa ketidakpastian. Keputusan Rex untuk ikut ke Perancis juga melegakan penonton, karena selama hampir 100 menit kita dibuat untuk ikut merasakan apa yang Rex rasakan: rasa penasaran tentang apa yang terjadi dengan Saskia, dan mengapa Saskia diculik.

Saya tak akan menulis apa yang terjadi pada akhir film ini, dan apa yang sebenarnya terjadi pada Saskia, karena saya tidak tega untuk membagi spoiler. Yang pasti klimaks film ini cukup bagus dan mengejutkan. Saya pribadi tak memiliki bayangan apapun tentang apa yang terjadi pada Saskia hingga ending film ini diperlihatkan dengan sangat cerdik. Klimaks yang menurut saya cukup baik dipersiapkan dan disembunyikan dari para penonton. Dipersiapkan untuk disajikan belakangan, seperti saat kita menyisihkan bagian favorit dari sebuah sajian makanan untuk dimakan terakhir. 

Tak ada darah atau adegan kekerasan apapun dalam film ini. Tapi saya sangat terpukau dengan cara film sederhana ini menghantarkan kengerian tanpa perlu memperlihatkan darah, setan, monster atau hal-hal “horror” lainnya. Dengan cerdik film ini mempermainkan mood penonton dan mengembangkan setiap karakter dengan baik, hingga ending yang bisa saya bilang cukup mengerikan secara psikologis. Ini adalah tipe ending yang membuat penonton menaruh tangan pada jidat sendiri sambil kebingungan apakah harus merasa lega atau menyesal, atau kesal. Terlebih lagi kalau kita memposisikan diri kita pada diri Rex selama film ini berlangsung. 

Tidak seperti umumnya film bertema penculikan dan orang hilang, The Vanishing bukanlah sebuah film tentang pencarian orang hilang, tapi lebih ke pencarian atas kebenaran (truth) dan kepastian. Sekarang bayangkan kalau pasangan atau anggota keluargamu tiba-tiba menghilang begitu saja di tengah hari yang ramai, dan selama bertahun-tahun tak ada penjelasan apapun tentang kejadian tersebut. Tentu kamu akan perlu lebih banyak obat penenang untuk terus meneruskan hidup. Film ini berhasilkan mengemas salah satu kengerian paling mendasar manusia dengan cantik dan cerdik.

Karena kesuksesannya, pada tahun 1993 film ini dibuat ulang oleh Hollywood. Tapi saya tak terlalu tertarik untuk menontonnya. Pelajaran yang saya dapat selama ini adalah, setiap kali Hollywood membuat remake dari film non-US, adalah karena film aslinya sangat bagus, dan selalu tetap lebih bagus dibanding versi remake-nya. 

PELAJARAN
Tak ada yang bisa saya tulis dalam kolom ini. Kesialan di satu sisi, keberuntungan di sisi lain. Kesialan tidak pernah memberi waktu bagi siapapun untuk mempersiapkan diri. 

SCORE
4 dari 5

TRAILER

Thursday, November 27, 2014

BODY BAGS (1993)


BODY BAGS (1993)
Sutradara: John Carpenter, Tobe Hooper
U.S.A.

Body Bags adalah sebuah antologi horror berisi tiga cerita pendek, disutradarai oleh dua master per-film-horror-an: John Carpenter (Halloween 1978, The Fog 1980, The Thing 1982 dan banyak lagi) dan Tobe Hooper (The Texas Chain Saw Massacre 1974, Poltergeist 1982). Pada awalnya Body Bags diproduksi sebagai serial TV, sebagai salah satu saingan dari antologi yang saat itu cukup terkenal, Tales from the Crypt di HBO. Namun, baru tiga episode saja yang sempat diproduksi, sebelum akhirnya stasiun TV yang bersangkutan membatalkan niatnya. Daripada mubazir, akhirnya tiga episode ini dijadikan satu antologi lepas dan diberi judul Body Bags.


SINOPSIS SINGKAT TANPA SPOILER
Kalau host dalam antologi Tales from the Crypt adalah sesosok mayat penjaga kubur, dalam Body Bags host-nya adalah salah satu sutradara sendiri, John Carpenter, yang berperan sebagai sesosok ahli forensik misterius dalam kamar mayat. Setiap menghantarkan cerita dalam antologi ini, dia membukanya lewat sebuah body bag, alias kantung mayat, yang berada di kamar mayat tersebut.

  John Carpenter sebagai ahli forensik misterius dalam kamar mayat, membuka BODY BAGS

Cerita pertama berjudul “Gas Station”, bercerita tentang Anna, seorang mahasiswi yang bekerja paruh waktu pada malam hari di sebuah toko serba ada 24 jam di pom bensin. Malam itu adalah malam pertama ia bekerja, dan diketahui bahwa seorang pembunuh berantai sadis sedang berkeliaran di daerah itu. Seorang diri pada malam hari, di sebuah pom bensin pinggir jalan yang gelap dan sepi, serta psikopat berkeliaran, bukanlah hal yang bagus. Satu per satu pembeli misterius berdatangan, kesemuanya cukup mencurigakan bagi penonton, hingga akhirnya sang pembunuh benar-benar datang dengan cara yang tak terduga.

Bekerja seorang diri di tempat seperti ini, pada malam hari, pada daerah dimana seorang pembunuh sadis sedang berkeliaran. Sempurna untuk setting film horror!

Cerita kedua berjudul “Hair”, bercerita tentang Richard, seseorang paruh baya yang mulai mengalami kebotakan. Richard sangat cemas dengan penampilannya. Walaupun kekasihnya mencintai dia apa adanya, namun Richard tetap terobsesi ingin memiliki rambut yang tebal dan indah. Banyak hal ia lakukan, dari mulai merubah bentuk rambutnya agar terlihat lebih “berbentuk”, mengecat kepalanya, pergi ke ahli tata-rambut, hingga membeli obat-obatan penumbuh rambut.

Kasihan Richard.. Pegawai salonpun menghinanya..

Suatu hari Richard melihat sebuah iklan di TV mengenai sebuah klinik yang memperkenalkan metode mutahir untuk menumbuhkan rambut dalam semalam. Tanpa pikir panjang, Richard mendatangi klinik tersebut, dan sepakat untuk menjalani metode baru yang cukup simpel. Dokter yang menanganinya mengatakan, bahwa rambutnya akan tumbuh dalam semalam. Benar saja, saat ia terbangun di pagi hari, rambut indahnya sudah panjang semampai. Richard sangat bangga, dan banyak orang di sekitarnya sangat terkesan dengan perubahan penampilannya. Akhirnya Richard menyadari bahwa rambutnya tumbuh dengan sangat cepat, sangat tidak normal, dan hal-hal ganjilpun mulai terjadi hingga akhirnya terkuak apa yang terjadi pada Richard sebenarnya.

Jangan terlalu cepat gembira kalau rambutmu tumbuh seperti ini dalam semalam!

Cerita yang terakhir dalam Body Bags, disutradarai oleh Tobe Hooper, berjudul “Eye”, diperankan oleh Mark Hammil yang lebih dikenal sebagai Luke Skywalker dalam trilogi pertama Star Wars. Bercerita tentang Brent, seorang pemain baseball profesional yang mengalami kecelakaan dan harus kehilangan salah satu matanya.

 Luke Skywalker bermata satu! May the Force be with you!

Di tengah frustasinya karena khawatir karirnya hancur, seorang dokter bedah menawarinya sebuah proses cangkok mata eksperimental, dengan menggunakan bola mata dari orang yang sudah meninggal. Brent pun setuju untuk menjalani operasi tersebut, dan benar saja, setelah operasi, Brent dapat melihat dengan normal kembali. Namun, karena ini adalah film horror, tentu saja ada yang tak beres dengan salah satu mata barunya. Cerita ini difilmkan jauh sebelum The Eye (Hong Kong, 2012) dibuat, tapi kira-kira memiliki ide yang mirip.


Body Bags adalah salah satu contoh nyata bahwa film horror pun bisa fun dan ringan. Cukup efektif dengan cerita-ceritanya yang pendek, jalan cerita yang fresh, komplit dengan semua unsur penting: menegangkan di beberapa hal, penuh darah, penuh komedi dalam beberapa bagian, dan mampu membuat penonton merasa excited, terutama bagi mereka yang cukup familiar dengan setiap cameo yang sempat hadir di dalam antologi ini. Beberapa cameo yang sempat terlihat dalam Body Bags diantaranya: Wes Craven (sutradara A Nightmare on Elm Street) yang berperan sebagai seorang pembeli rokok dalam "Gas Station", Sam Raimi (sutradara Evil Dead) berperan sebagai mayat dalam locker ("Gas Station"), Debbie Harry (vokalis band Blondie) berperan sebagai suster dalam "Hair", Mark Hammil (pemeran Luke Skywalker dalam trilogi Star Wars) dalam "Eye", hingga Tobe Hooper sendiri yang hanya berperan sebagai salah satu ahli forensik di kamar mayat.

 Salah satu raja horror, Wes Craven, sebagai pembeli rokok yang genit.

 Debbie Harry!

Tapi, maklum saja, karena tiga film pendek dalam antologi ini sebenarnya diproduksi untuk acara TV dengan bajet terbatas, maka produksinya pun minimalis dan kemampuan akting beberapa pemain terasa sangat kaku, seperti umumnya film yang diproduksi untuk televisi dan bukan untuk layar lebar. Namun semua itu sangat termaafkan, mengingat film ini cukup menghibur.

PELAJARAN
Kebotakan dini bukanlah akhir dari segalanya.

SCORE!

2 dari 5
!

TRAILER